Sejarah
Jawa Barat sebagai pengertian administratif mulai digunakan pada tahun
1925 ketika Pemerintah
Hindia Belanda membentuk Provinsi Jawa Barat. Pembentukan provinsi itu sebagai pelaksanaan
Bestuurshervormingwet tahun
1922, yang membagi Hindia Belanda atas kesatuan-kesatuan daerah provinsi. Sebelum tahun 1925, digunakan istilah
Soendalanden
(Tanah Sunda) atau Pasundan, sebagai istilah geografi untuk menyebut
Pulau Jawa di sebelah barat Sungai Cilosari dan Citanduy yang sebagian
besar dihuni oleh penduduk yang menggunakan
Bahasa Sunda sebagai bahasa ibu.
Penduduk
Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di
Indonesia. Kerana letaknya yang berdekatan dengan ibu kota negara maka
hampir seluruh suku bangsa yang ada di Indonesia terdapat di provinsi
ini. 65% penduduk Jawa Barat adalah
Suku Sunda yang merupakan penduduk asli provinsi ini. Suku lainnya adalah
Suku Jawa yang banyak dijumpai di daerah bagian utara Jawa Barat,
Suku Betawi banyak mendiami daerah bagian barat yang bersempadan dengan
Jakarta.
Suku Minang dan
Suku Batak banyak mendiami Kota-kota besar di Jawa Barat, seperti
Bandung,
Cimahi,
Bogor,
Bekasi, dan
Depok. Sementara itu
Orang Tionghoa banyak dijumpai hampir di seluruh daerah Jawa Barat.
Agama
Majoriti penduduk di Jawa Barat memeluk agama
Islam (97%). Selain itu provinsi Jawa Barat memiliki bandar-bandar yang menerapkan syariat Islam, seperti
Cianjur,
Kabupaten Tasik Malaya, serta
Kota Tasikmalaya diperlakukan kepada sebahagian besar warganya yang menganut agama Islam. Agama
Kristian banyak pula terdapat di Jawa Barat, terutama dianut oleh
Orang Tionghoa dan sebahagian
Orang Batak. Agama minoriti lainnya yang terdapat di Provinsi Jawa Barat adalah
Buddha,
Hindu dan
Konfusianisme
SENI DAN BUDAYA ( JAWA BARAT )
Seni Karawitan
1. Alat Musik Angklung
Angklung merupakan sebuah alat musik tradisional terkenal yang dibuat
dari bambu dan merupakan alat musik asli Jawa Barat, Indonesia.
Dulunya, angklung memegang bagian penting dari aktivitas upacara
tertentu, khususnya pada musim panen. Suara angklung dipercaya akan
mengundang perhatian Dewi Sri (Nyi Sri Pohaci) yang akan membawa
kesuburan terhadap tanaman padi para petani dan akan memberikan
kebahagian serta kesejahteraan bagi umat manusia.
Angklung yang tertua di dalam sejarah yang masih ada disebut Angklung
Gubrag dibuat di Jasinga, Bogor, Indonesia dan usianya telah mencapai
400 tahun. Sekarang ini, beberapa angklung tersebut disimpan di Museum
Sri Baduga, Bandung, Indonesia.
Dengan berjalannya waktu, Angklung bukan hanya dikenal di seluruh
Nusantara, tetapi juga merambah ke berbagai negara di Asia. Pada akhir
abad ke-20, Daeng Soetigna menciptakan angklung yang didasarkan pada
skala suara diatonik. Setelah itu, angklung telah digunakan di dalam
bisnis hiburan sejak alat musik ini dapat dimainkan secara berpadu
dengan berbagai macam alat musik lainnya. Pada tahun 1966, Udjo
Ngalagena, seorang siswa dari Tuan Daeng Soetigna mengembangkan angklung
berdasarkan skala suara alat musik Sunda, yaitu
salendro,
pelog, dan
madenda.
Macam-macam Angklung
a) Angklung Kanekes
Angklung di daerah Kanekes (kita sering menyebut mereka Badui)
digunakan terutama karena hubungannya dengan upacara padi, bukan
semata-mata untuk hiburan orang-orang. Angklung digunakan atau
dibunyikan ketika mereka menanam padi di huma (ladang). Angklung ditabuh
ketika orang Kanekes menanam padi; ada yang hanya dibunyikan bebas (
dikurulungkeun),
terutama di Kajeroan (Tangtu, Badui Jero), dan ada yang dengan ritmis
tertentu, yaitu di Kaluaran (Baduy Luar). Meski demikian, angklung masih
bisa ditampilkan di luar ritus padi dan tetap memunyai aturan, misalnya
hanya boleh ditabuh hingga masa
ngubaran pare (mengobati
padi), sekitar tiga bulan dari sejak ditanamnya padi. Setelah itu,
selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak boleh dimainkan, dan
boleh dimainkan lagi pada musim menanam padi berikutnya. Menutup
angklung dilaksanakan dengan acara yang disebut
musungkeun angklung, yaitu
nitipkeun (menitipkan, menyimpan) angklung setelah dipakai.
Dalam sajian hiburan, angklung biasanya diadakan saat terang bulan dan tidak hujan. Mereka memainkan angklung di
buruan (halaman
luas di pedesaan) sambil menyanyikan bermacam-macam lagu, antara lain:
“Lutung Kasarung”, “Yandu Bibi”, “Yandu Sala”, “Ceuk Arileu”,
“Oray-orayan”, “Dengdang”, “Yari Gandang”, “Oyong-oyong Bangkong”,
“Badan Kula”, “Kokoloyoran”, “Ayun-ayunan”, “Pileuleuyan”, “Gandrung
Manggu”, “Rujak Gadung”, “Mulung Muncang”, “Giler”, “Ngaranggeong”,
“Aceukna”, “Marengo”, “Salak Sadapur”, “Rangda Ngendong”, “Celementre”,
“Keupat Reundang”, “Papacangan”, dan “Culadi Dengdang”.
Para penabuh angklung sebanyak delapan orang dan tiga penabuh bedug
ukuran kecil membuat posisi berdiri sambil berjalan dalam formasi
lingkaran. Sementara itu yang lainnya ada yang
ngalage (menari)
dengan gerakan tertentu yang telah baku tetapi sederhana. Semuanya
dilakukan hanya oleh laki-laki. Hal ini berbeda dengan masyarakat Badui
Dalam, mereka dibatasi oleh adat dengan berbagai aturan
pamali (pantangan,
tabu), tidak boleh melakukan hal-hal kesenangan duniawi yang
berlebihan. Kesenian semata-mata dilakukan untuk keperluan ritual.
Nama-nama angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah:
indung,
ringkung,
dongdong,
gunjing,
engklok,
indung leutik,
torolok, dan
roel. Roel yang terdiri dari dua buah angklung dipegang oleh seorang. Nama-nama bedug dari yang terpanjang adalah:
bedug,
talingtit, dan
ketuk.
Penggunaan instrumen bedug terdapat perbedaan, yaitu di kampung-kampung
Kaluaran mereka memakai bedug sebanyak tiga buah. Di Kajeroan, kampung
Cikeusik, hanya menggunakan bedug dan talingtit, tanpa ketuk. Di
Kajeroan, Kampung Cibeo, hanya menggunakan bedug, tanpa talingtit dan
ketuk.
Di Kanekes yang berhak membuat angklung adalah orang Kajeroan
(Tangtu, Badui Jero). Kajeroan terdiri dari tiga kampung, yaitu Cibeo,
Cikartawana, dan Cikeusik. Di ketiga kampung ini tidak semua orang bisa
membuatnya, hanya yang punya keturunan dan berhak saja yang
mengerjakannya di samping adanya syarat-syarat ritual. Pembuat angklung
di Cikeusik yang terkenal adalah Ayah Amir (59), dan di Cikartawana Ayah
Tarnah. Orang Kaluaran membeli dari orang Kajeroan di tiga kampung
tersebut.
b) Angklung Dogdog Lojor
Kesenian
dogdog lojor terdapat di masyarakat Kasepuhan
Pancer Pangawinan atau kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar di
sekitar Gunung Halimun (berbatasan dengan Sukabumi, Bogor, dan Lebak).
Meski kesenian ini dinamakan dogdog lojor, yaitu nama salah satu
instrumen di dalamnya, tetapi di sana juga digunakan angklung karena
kaitannya dengan acara ritual padi. Setahun sekali, setelah panen
seluruh masyarakat mengadakan acara
Serah Taun atau
Seren Taundi pusat kampung adat. Pusat kampung adat sebagai tempat kediaman
kokolot (sesepuh) tempatnya selalu berpindah-pindah sesuai petunjuk gaib.
Tradisi penghormatan padi pada masyarakat ini masih dilaksanakan karena
mereka termasuk masyarakat yang masih memegang teguh adat lama. Secara
tradisi mereka mengaku sebagai keturunan para pejabat dan prajurit
keraton Pajajaran dalam
baresan pangawinan (prajurit
bertombak). Masyarakat Kasepuhan ini telah menganut agama Islam dan agak
terbuka akan pengaruh modernisasi, serta hal-hal hiburan kesenangan
duniawi bisa dinikmatinya. Sikap ini berpengaruh pula dalam dalam hal
fungsi kesenian yang sejak sekitar tahun 1970-an, dogdog lojor telah
mengalami perkembangan, yaitu digunakan untuk memeriahkan khitanan anak,
perkawinan, dan acara kemeriahan lainnya.
Instrumen yang digunakan dalam kesenian dogdog lojor adalah dua buah
dogdog lojor dan empat buah angklung besar. Keempat buah angklung ini
memunyai nama, yang terbesar dinamakan
gonggong, kemudian
panembal,
kingking, dan
inclok.
Tiap instrumen dimainkan oleh seorang, sehingga semuanya berjumlah enam
orang. Lagu-lagu dogdog lojor di antaranya: “Bale Agung”, “Samping
Hideung”, “Oleng-oleng Papanganten”, “Si Tunggul Kawung”, “Adulilang”,
dan “Adu-aduan”. Lagu-lagu ini berupa vokal dengan ritmis dogdog dan
angklung cenderung tetap.
c)
Angklung Gubrag
Angklung gubrag terdapat di Kampung Cipining, Kecamatan Cigudeg,
Bogor. Angklung ini telah berusia tua dan digunakan untuk menghormati
dewi padi dalam kegiatan
melak pare (menanam padi),
ngunjal pare (mengangkut padi), dan
ngadiukeun (menempatkan) ke
leuit (lumbung). Dalam mitosnya angklung gubrag mulai ada ketika suatu masa Kampung Cipining mengalami musim paceklik.
d)
Angklung Badeng
Badeng merupakan jenis kesenian yang menekankan segi musikal
dengan angklung sebagai alat musiknya yang utama. Badeng terdapat di
Desa Sanding, Kecamatan Malangbong, Garut. Dulu berfungsi sebagai
hiburan untuk kepentingan dakwah Islam. Diduga badeng telah digunakan
masyarakat sejak lama dari masa sebelum Islam untuk acara-acara yang
berhubungan dengan ritual penanaman padi. Sebagai seni untuk dakwah
badeng dipercaya berkembang sejak Islam menyebar di daerah ini sekitar
abad ke-16 atau ke-17. Pada masa itu penduduk Sanding, Arpaen, dan
Nursaen belajar agama Islam ke Kerajaan Demak. Setelah pulang dari Demak
mereka berdakwah menyebarkan agama Islam. Salah satu sarana penyebaran
Islam yang digunakannya adalah dengan kesenian badeng.
Angklung yang digunakan sebanyak sembilan buah, yaitu dua angklung
roel, satu angklung kecer, empat angklung indung dan angklung bapa, dua
angklung anak, dua buah dogdog, dua buah terbang atau gembyung, serta
satu kecrek. Teksnya menggunakan bahasa Sunda yang bercampur dengan
bahasa Arab. Dalam perkembangannya sekarang digunakan pula bahasa
Indonesia. Isi teks memuat nilai-nilai Islami dan nasihat-nasihat baik,
serta menurut keperluan acara. Dalam pertunjukannya selain disajikan
lagu-lagu, disajikan pula atraksi kesaktian, seperti mengiris tubuh
dengan senjata tajam. Lagu-lagu badeng: “Lailahaileloh”, “Ya’ti”,
“Kasreng”, “Yautike”, “Lilimbungan”, dan “Solaloh”.
2. Seni Pertunjukan Buncis
Buncis merupakan seni pertunjukan yang bersifat hiburan,
di antaranya terdapat di Baros (Arjasari, Bandung). Pada mulanya buncis
digunakan pada acara-acara pertanian yang berhubungan dengan padi.
Tetapi pada masa sekarang buncis digunakan sebagai seni hiburan. Hal ini
berhubungan dengan semakin berubahnya pandangan masyarakat yang mulai
kurang mengindahkan hal-hal berbau kepercayaan lama. Tahun 1940-an dapat
dianggap sebagai berakhirnya fungsi ritual buncis dalam penghormatan
padi, karena sejak itu buncis berubah menjadi pertunjukan hiburan.
Sejalan dengan itu tempat-tempat penyimpanan padi pun (
leuit,
lumbung) mulai menghilang dari rumah-rumah penduduk, diganti dengan
tempat-tempat karung yang lebih praktis, dan mudah dibawa ke mana-mana.
Padi pun sekarang banyak yang langsung dijual, tidak disimpan di
lumbung. Dengan demikian kesenian buncis yang tadinya digunakan untuk
acara-acara
ngunjal (membawa padi) tidak diperlukan lagi.
Nama kesenian buncis berkaitan dengan sebuah teks lagu yang terkenal di kalangan rakyat, yaitu “
cis kacang buncis nyengcle …”. Teks tersebut terdapat dalam kesenian buncis, sehingga kesenian ini dinamakan buncis.
Instrumen yang digunakan dalam kesenian buncis: dua angklung indung,
dua angklung ambrug, satu angklung panempas, dua angklung pancer, satu
angklung enclok, tiga buah dogdog (satu talingtit, satu panembal, dan
satu badublag). Dalam perkembangannya kemudian ditambah dengan tarompet,
kecrek, dan goong. Angklung buncis berlaras salendro dengan lagu vokal
bisa berlaras madenda atau degung. Lagu-lagu buncis di antaranya:
“Badud”, “Buncis”, “Renggong”, “Senggot”, “Jalantir”, “Jangjalik”,
“Ela-ela”, “Mega Beureum”. Sekarang lagu-lagu buncis telah menggunakan
pula lagu-lagu dari gamelan, dengan penyanyi yang tadinya laki-laki
pemain angklung, kini oleh wanita khusus untuk menyanyi.
Dari beberapa jenis musik bambu di Jawa Barat (angklung) di atas,
adalah beberapa contoh saja tentang seni pertunjukan angklung, yakni:
angklung buncis (Priangan/Bandung), angklung badud (Priangan
Timur/Ciamis), angklung bungko (Indramayu), angklung gubrag (Bogor),
angklung ciusul (Banten), angklung dog dog lojor (Sukabumi), angklung
badeng (Malangbong, Garut), dan angklung padaeng yang identik dengan
angklung nasional dengan tangga nada diatonis, yang dikembangkan sejak
tahun 1938. Angklung khas Indonesia ini berasal dari pengembangan
angklung Sunda. Angklung Sunda yang bernada lima (salendro atau pelog)
oleh Daeng Sutigna alias Si Etjle (1908—1984) diubah nadanya menjadi
tangga nada Barat (solmisasi) sehingga dapat memainkan berbagai lagu
lainnya. Hasil pengembangannya kemudian diajarkan ke siswa-siswa sekolah
dan dimainkan secara orkestra besar.
3. Wayang Golek
Wayang Golek adalah boneka kayu yang dimainkan berdasarkan karakter
tertentu dalam suatu cerita pewayangan. Dimainkan oleh seorang Dalang
yang menguasai berbagai karakter maupun suara tokoh yang dimainkan.
Wayang golek sangat digemari oleh masyarakat Sunda khususnya. Lazimnya
wayang golek dipergelarkan pada malam hari sampai dini hari.
|
- 4. Rampak Kendang
Kendang adalah salah satu instrumen musik tradional yang
dimainkan bersama-sama instrumen lainnya, sehingga dapat menciptakan
musik yang harmonis. Perkembangan selanjutnya, kendang tidak saja
dimainkan dengan berbagai instrumen lainnya, tapi dimainkan secara
tunggal dalam arti satu jenis instrumen musik, namun dimainkan dalam
jumlah banyak dan menciptakan suatu irama tersendiri.
|
|
Seni Tari
1. Tari Jaipong
a) Tari Jaipong adalah tarian yang paling terkenal di Jawa Barat.
Jaipong adalah seni tari yang lahir dari kreativitas seorang seniman
asal Bandung, Gugum Gumbira. Ia terinspirasi pada kesenian rakyat yang
salah satunya adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal
betul perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada Kliningan
atau Bajidoran atau Ketuk Tilu. Sehingga ia dapat mengembangkan tarian
atau kesenian yang kini di kenal dengan nama Jaipongan.
b) Karya Jaipong pertama yang mulai dikenal oleh masyarakat adalah
tari “Daun Pulus Keser Bojong” dan “Rendeng Bojong” yang keduanya
merupakan jenis tari putri dan tari berpasangan (putra dan putri). Awal
kemunculan tarian tersebut semula dianggap sebagai gerakan yang erotis
dan vulgar, namun semakin lama tari ini semakin popular dan mulai
meningkat frekuensi pertunjukkannya baik di media televisi, hajatan,
maupun perayaan-perayaan yang disenggelarakan oleh pemerintah atau oleh
pihak swasta.
c) Saat ini tari Jaipong merupakan salah satu identitas kesenian
Jawa Barat. Hal ini tampak pada beberapa acara penting saat penyambutan
tamu asing di daerah Jawa barat. Tari Jaipong banyak mempengaruhi
kesenian-kesenian lain yang ada di masyarakat Jawa Barat, baik pada seni
pertunjukan wayang, degung, genjring/terbangan, kacapi jaipong, dan
hampir semua pertunjukan rakyat maupun pada musik dangdut modern yang
dikolaborasikan dengan Jaipong menjadi kesenian Pong-Dut.
- 2. Tari Ketuk Tilu
Tari Ketuk Tilu telah ada kira-kira di era 1809, dimana
ketika dibuatnya Grote Pas Weg, tarian ketuk tilu telah dikenal oleh
masyarakat luas di Jawa Barat. Sebagai tarian rakyat tradisonal, tari
ketuk tilu memiliki tata rias dan busana khas.
Sesuai namanya Tarian Ketuk Tilu berasal dari nama sebuah
instrumen atau alat musik tradisonal yang disebut “ketuk” sejumlah 3
(tiga) buah. Sebagaimana musik pengiring tarian lainnya, instrumen
ketuk tilu dimainkan secara gabungan dari berbagai alat musik atau
instrumen musik tradisonal yang menciptakan harmoni lagu khas pengiring
tarian maupun nyanyiannya.
Seni Bela diri
Kesenian bela diri yang berasal dari daerah Jawa Barat adalah
Tarung Drajat.
Olahraga Tarung Derajat diciptakan oleh seorang putra bangsa Indonesia
yaitu Sang Guru (Haji Achmad Dradjat, Drs.), yang akrab disapa dengan
nama populernya “AA-BOXER”. Olahraga ini dilahirkannya sebagai suatu
seni ilmu beladiri dengan memiliki aliran dan wadah tersendiri tanpa
berapliasi dengan aliran lain dan organisasi beladiri lainnya yang ada
di bumi Indonesia. Namun, keberadaan Tarung Derajat tidak muncul dengan
sendirinya, akan tetapi memiliki latar belakang suatu riwayat perjalanan
hidup Sang Guru.
Beladiri ini muncul dari pengalaman hidup yang pernah dilakoni oleh
Sang Guru sekitar tahun 1968 hingga tahun 1970-an, anak muda ini waktu
itu sering terlibat aksi kekerasan pisik, penganiayaan, perkelahian,
pemerasan, dan penghinaan. Olahraga ini menciptakan teknik beladiri dari
berbagai beladiri yang pernah dipelajarinya yaitu memadukan lima unsur
fungsi gerakan beladiri, seperti: memukul, menendang, menangkis,
membanting dan mengelak.
Upacara Adat Jawa Barat
Adat istiadat yang diwariskan leluhurnya pada masyarakat Sunda masih
dipelihara dan dihormati. Dalam daur hidup manusia dikenal
upacara-upacara yang bersifat ritual adat seperti: upacara adat Masa
Kehamilan, Masa Kelahiran, Masa Anak-anak, Perkawinan, Kematian dll.
Demikian juga dalam kegiatan pertanian dan keagamaan dikenal upacara
adat yang unik dan menarik. Itu semua ditujukan sebagai ungkapan rasa
syukur dan mohon kesejahteraan dan keselamatan lahir bathin dunia dan
akhirat. Beberapa kegiatan upacara adat di Jawa Barat dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
UPACARA DAUR HIDUP MANUSIA
A.Upacara Adat Masa Kehamilan
1. Upacara Mengandung Empat Bulan
Dulu Masyarakat Jawa Barat apabila seorang perempuan baru mengandung 2
atau 3 bulan belum disebut hamil, masih disebut mengidam. Setelah lewat
3 bulan barulah disebut hamil. Upacara mengandung Tiga Bulan dan Lima
Bulan dilakukan sebagai pemberitahuan kepada tetangga dan kerabat bahwa
perempuan itu sudah betul-betul hamil. Namun sekarang kecenderungan
orang-orang melaksanakan upacara pada saat kehamilan menginjak empat
bulan, karena pada usia kehamilan empat bulan itulah saat ditiupkannya
roh pada jabang bayi oleh Allah SWT. Biasanya pelaksanaan upacara
Mengandung empat Bulan ini mengundang pengajian untuk membacakan do’a
selamat, biasanya doa nurbuat dan doa lainnya agar bayinya mulus,
sempurna, sehat, dan selamat.
2. Upacara Mengandung Tujuh Bulan
Upacara Tingkeban adalah upacara yang diselenggarakan pada saat
seorang ibu mengandung 7 bulan. Hal itu dilaksanakan agar bayi yang di
dalam kandungan dan ibu yang melahirkan akan selamat. Tingkeban berasal
dari kata tingkeb artinya tutup, maksudnya si ibu yang sedang mengandung
tujuh bulan tidak boleh bercampur dengan suaminya sampai empat puluh
hari sesudah persalinan, dan jangan bekerja terlalu berat karena bayi
yang dikandung sudah besar, hal ini untuk menghindari dari sesuatu yang
tidak diinginkan. Di dalam upacara ini biasa diadakan pengajian biasanya
membaca ayat-ayat Al-Quran surat Yusuf, surat Lukman dan surat Maryam.
Di samping itu dipersiapkan pula peralatan untuk upacara memandikan ibu
hamil , dan yang utama adalah rujak kanistren yang terdiri dari 7 macam
buah-buahan. Ibu yang sedang hamil tadi dimandikan oleh 7 orang keluarga
dekat yang dipimpin seorang paraji secara bergantian dengan menggunakan
7 lembar kain batik yang dipakai bergantian setiap guyuran dan
dimandikan dengan air kembang 7 rupa. Pada guyuran ketujuh dimasukan
belut sampai mengena pada perut si ibu hamil, hal ini dimaksudkan agar
bayi yang akan dilahirkan dapat berjalan lancar (licin seperti belut).
Bersamaan dengan jatuhnya belut, kelapa gading yang telah digambari
tokoh wayang oleh suaminya dibelah dengan golok. Hal ini dimaksudkan
agar bayi yang dikandung dan orang tuanya dapat berbuat baik lahir dan
batin, seperti keadaan kelapa gading warnanya elok, bila dibelah airnya
bersih dan manis. Itulah perumpamaan yang diharapkan bagi bayi yang
dikandung supaya mendapatkan keselamatan dunia-akhirat.
Sesudah selesai dimandikan biasanya ibu hamil didandani dibawa menuju ke
tempat rujak kanistren tadi yang sudah dipersiapkan. Kemudian sang ibu
menjual rujak itu kepada anak-anak dan para tamu yang hadir dalam
upacara itu, dan mereka membelinya dengan menggunakan talawengkar, yaitu
genteng yang sudah dibentuk bundar seperti koin. Sementara si ibu hamil
menjual rujak, suaminya membuang sisa peralatan mandi seperti air sisa
dalam jajambaran, belut, bunga, dsb. Semuanya itu harus dibuang di jalan
simpang empat atau simpang tiga. Setelah rujak kanistren habis terjual
selesailah serangkaian upacara adat tingkeban.
3. Upacara Mengandung Sembilan Bulan
Upacara sembuilan bulan dilaksanakan setelah usia kandungan masuk
sembilan bulan. Dalam upacara ini diadakan pengajian dengan maksud agar
bayi yang dikandung cepat lahir dengan selamat karena sudah waktunya
lahir. Dalam upacara ini dibuar bubur lolos, sebagai simbul dari upacara
ini yaitu supaya mendapat kemudahan waktu melahirkan, lolos. Bubur
lolos ini biasanya dibagikan beserta nasi tumpeng atau makanan lainnya.
4. Upacara Reuneuh Mundingeun
Upacara Reuneuh Mundingeun dilaksanakan apabila perempuan yang
mengandung lebih dari sembilan bulan,bahkan ada yang sampai 12 bulan
tetapi belum melahirkan juga, perempuan yang hamil itu disebut Reuneuh
Mundingeun, seperti munding atau kerbau yang bunting. Upacara ini
diselenggarakan agar perempuan yang hamil tua itu segera melahirkan
jangan seperti kerbau, dan agar tidak terjadi sesuatu yang tidak
diinginkan. Pada pelaksanaannya leher perempuan itu dikalungi kolotok
dan dituntun oleh indung beurang sambil membaca doa dibawa ke kandang
kerbau. Kalau tidak ada kandang kerbau, cukup dengan mengelilingi rumah
sebanyak tujuh kali. Perempuan yang hamil itu harus berbuat seperti
kerbau dan menirukan bunyi kerbau sambil dituntun dan diiringkan oleh
anak-anak yang memegang cambuk. Setelah mengelilingi kandang kerbau atau
rumah, kemudian oleh indung beurang dimandikan dan disuruh masuk ke
dalam rumah. Di kota pelaksanaan upacara ini sudah jarang dilaksanakan.
B. Upacara Kelahiran dan Masa Bayi
- 1. Upacara Memelihara Tembuni
Tembuni/placenta dipandang sebagai saudara bayi karena itu tidak
boleh dibuang sembarangan, tetapi harus diadakan upacara waktu
menguburnya atau menghanyutkannya ke sungai. Bersamaan dengan bayi
dilahirkan, tembuni (placenta) yang keluar biasanya dirawat dibersihkan
dan dimasukan ke dalam pendil dicampuri bumbu-bumbu garam, asam dan gula
merah lalu ditutup memakai kain putih yang telah diberi udara melalui
bambu kecil (elekan). Pendil diemban dengan kain panjang dan dipayungi,
biasanya oleh seorang paraji untuk dikuburkan di halaman rumah atau
dekat rumah. Ada juga yang dihanyutkan ke sungai secara adat.
Upacara penguburan tembuni disertai pembacaan doa selamat dan
menyampaikan hadiah atau tawasulan kepada Syeh Abdulkadir Jaelani dan
ahli kubur. Di dekat kuburan tembuni itu dinyalakan cempor/pelita sampai
tali pusat bayi lepas dari perutnya.. Upacara pemeliharaan tembuni
dimaksudkan agar bayi itu selamat dan kelak menjadi orang yang
berbahagia.
2. Upacara Nenjrag Bumi
Upacara Nenjrag Bumi ialah upacara memukulkan alu ke bumi sebanyak
tujuh kali di dekat bayi, atau cara lain yaitu bayi dibaringkan di atas
pelupuh (lantai dari bambo yang dibelah-belah ), kemudian indung beurang
menghentakkan kakinya ke pelupuh di dekat bayi. Maksud dan tujuan dari
upacara ini ialah agar bayi kelak menjadi anak yang tidak lekas terkejut
atau takut jika mendengar bunyi yang tiba-tiba dan menakutkan.
3 .Upacara Puput Puseur
Setelah bayi terlepas dari tali pusatnya, biasanya diadakan
selamatan. Tali pusat yang sudah lepas itu oleh indung beurang
dimasukkan ke dalam kanjut kundang . Seterusnya pusar bayi ditutup
dengan uang logam/benggol yang telah dibungkus kasa atau kapas dan
diikatkan pada perut bayi, maksudnya agar pusat bayi tidak dosol,
menonjol ke luar. Ada juga pada saat upacara ini dilaksanakan sekaligus
dengan pemberian nama bayi. Pada upacara ini dibacakan doa selamat, dan
disediakan bubur merah bubur putih. Ada kepercayaan bahwa tali pusat
(tali ari-ari) termasuk saudara bayi juga yang harus dipelihara dengan
sungguh-sungguh. Adapun saudara bayi yang tiga lagi ialah tembuni,
pembungkus, dan kakawah. Tali ari, tembuni, pembungkus, dan kakawah
biasa disebut dulur opat kalima pancer, yaitu empat bersaudara dan
kelimanya sebagai pusatnya ialah bayi itu. Kesemuanya itu harus
dipelihara dengan baik agar bayi itu kelak setelah dewasa dapat hidup
rukun dengan saudara-saudaranya (kakak dan adiknya) sehingga tercapailah
kebahagiaan.
4. Upacara Ekah
Sebetulnya kata ekah berasal dari bahasa Arab, dari kata aqiqatun
“anak kandung”. Upacara Ekah ialah upacara menebus jiwa anak sebagai
pemberian Tuhan, atau ungkapan rasa syukur telah dikaruniai anak oleh
Tuhan Yang Maha Kuasa, dan mengharapkan anak itu kelak menjadi orang
yang saleh yang dapat menolong kedua orang tuanya nanti di alam akhirat.
Pada pelaksanaan upacara ini biasanya diselenggarakan setelah bayi
berusia 7 hari, atau 14 hari, dan boleh juga setelah 21 hari.
Perlengkapan yangb harus disediakan adalah domba atau kambing untuk
disembelih, jika anak laki-laki dombanya harus dua (kecuali bagi yang
tidak mampu cukup seekor), dan jika anak perempuan hanya seekor saja.
Domba yang akan disembelih untuk upacara Ekah itu harus yang baik, yang
memenuhi syarat untuk kurban. Selanjutnya domba itu disembelih oleh
ahlinya atau Ajengan dengan pembacaan doa selamat, setelah itu dimasak
dan dibagikan kepada handai tolan.
5. Upacara Nurunkeun
Upacara Nurunkeun ialah upacara pertama kali bayi dibawa ke halaman
rumah, maksudnya mengenal lingkungan dan sebagai pemberitahuan kepada
tetangga bahwa bayi itu sudah dapat digendong dibawa berjalan-jalan di
halaman rumah. Upacara Nurun keun dilaksanakan setelah tujuh hari
upacara Puput Puseur. Pada pelaksanaannya biasa diadakan pengajian untuk
keselamatan dan sebagai hiburannya diadakan pohon tebu atau pohon
pisang yang digantungi aneka makanan, permainan anak-anak yang diletakan
di ruang tamu. Untuyk diperebutkan oleh para tamu terutama oleh
anak-anak.
3. Upacara Cukuran/Marhabaan
Upacara cukuran dimaksudkan untuk membersihkan atau menyucikan rambut
bayi dari segala macam najis. Upacara cukuran atau marhabaan juga
merupakan ungkapan syukuran atau terima kasih kepada Tuhan YME yang
telah mengkaruniakan seorang anak yang telah lahir dengan selamat.
Upacara cukuran dilaksanakan pada saat bayi berumur 40 hari.
Pada pelaksanaannya bayi dibaringkan di tengah-tengah para undangan
disertai perlengkapan bokor yang diisi air kembang 7 rupa dan gunting
yang digantungi perhiasan emas berupa kalung, cincin atau gelang untuk
mencukur rambut bayi. Pada saat itu mulailah para undangan berdo’a dan
berjanji atau disebut marhaban atau pupujian, yaitu memuji sifat-sifat
nabi Muhammad saw. dan membacakan doa yang mempunyai makna selamat lahir
bathin dunia akhirat. Pada saat marhabaan itulah rambut bayi digunting
sedikit oleh beberapa orang yang berdoa pada saat itu.
4. Upacara Turun Taneuh
Upacara Turun Taneuh ialah upacara pertama kali bayi menjejakkan
kakinya ke tanah, diselenggarakan setelah bayi itu agak besar, setelah
dapat merangkak atau melangkah sedikit-sedikit. Upacara ini dimaksudkan
agar si anak mengetahui keduniawian dan untuk mengetahui akan menjadi
apakah anak itu kelak, apakah akan menjadi petani, pedagang, atau akan
menjadi orang yang berpangkat. Perlengkapan yang disediakan harus lebih
lengkap dari upacara Nurunkeun, selain aneka makanan juga disediakan
kain panjang untuk menggendong, tikar atau taplak putih, padi segenggam,
perhiasan emas (kalung, gelang, cincin), uang yang terdiri dari uang
lembaran ratusan, rebuan, dan puluh ribuan. Jalannya upacara, apabila
para undangan telah berkumpul diadakan doa selamat, setelah itu bayi
digendong dan dibawa ke luar rumah.
Di halaman rumah telah dipersiapkan aneka makanan, perhiasan dan uang
yang disimpan di atas kain putih, selanjutnya kaki si anak diinjakan
pada padi/ makanan, emas, dan uang, hal ini dimaksudkan agar si anak
kelak pintar mencari nafkah. Kemudian anak itu dilepaskan di atas
barang-barang tadi dan dibiarkan merangkak sendiri, para undangan
memperhatikan barang apa yang pertama kali dipegangnya. Jika anak itu
memegang padi, hal itu menandakan anak itu kelak menjadi petani. Jika
yang dipegang itu uang, menandakan anak itu kelak menjadi
saudagar/pengusaha. Demikian pula apabila yang dipegangnya emas,
menandakan anak itu kelak akan menjadi orang yang berpangkat atau
mempunyai kedudukan yang terhormat.
C. Upacara Masa Kanak-kanak
- Upacara Gusaran
Gusaran adalah meratakan gigi anak perempuan dengan alat khusus.
Maksud upacara Gusaran ialah agar gigi anak perempuan itu rata dan
terutama agar nampak bertambah cantik. Upacara Gusaran dilaksanakan
apabila anak perempuan sudah berusia tujuh tahun. Jalannya upacara, anak
perempuan setelah didandani duduk di antara para undangan, selanjutnya
membacakan doa dan solawat kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian Indung
beurang melaksanakan gusaran terhadap anak perempuan itu, setelah
selesai lalu dibawa ke tangga rumah untuk disawer (dinasihati melalui
syair lagu). Selesai disawer, kemudian dilanjutkan dengan makan-makan.
Biasanya dalam upacara Gusaran juga dilaksanakan tindikan, yaitu
melubangi daun telinga untuk memasang anting-anting, agar kelihatannya
lebih cantik lagi.
2. Upacara Sepitan/Sunatan
Upacara sunatan/khitanan dilakukan dengan maksud agar alat vitalnya
bersih dari najis . Anak yang telah menjalani upacara sunatan dianggap
telah melaksanakan salah satu syarat utama sebagai umat Islam. Upacara
Sepitan anak perempuan diselenggarakan pada waktu anak itu masih kecil
atau masih bayi, supaya tidak malu. Upacara sunatan diselenggarakan
biasanya jika anak laki-laki menginjak usia 6 tahun. Dalam upacara
sunatan selain paraji sunat, juga diundang para tetangga, handai tolan
dan kerabat.
Pada pelaksanaannya pagi-pagi sekali anak yang akan disunat
dimandikan atau direndam di kolam sampai menggigil (kini hal semacam itu
jarang dilakukan lagi berhubung teknologi kesehatan sudah berkembang),
kemudian dipangku dibawa ke halaman rumah untuk disunat oleh paraji
sunat (bengkong), banyak orang yang menyaksikan diantaranya ada yang
memegang ayam jantan untuk disembelih, ada yang memegang petasan dan
macam-macam tetabuhan sambil menyanyikan marhaba. Bersamaan dengan anak
itu disunati, ayam jantan disembelih sebagai bela, petasan disulut, dan
tetabuhan dibunyikan . Kemudian anak yang telah disunat dibawa ke dalam
rumah untuk diobati oleh paraji sunat. Tidak lama setelah itu para
undangan pun berdatangan, baik yang dekat maupun yang jauh. Mereka
memberikan uang/ nyecep kepada anak yang disunat itu agar bergembira dan
dapat melupakan rasa sakitnya. Pada acara ini adapula yang
menyelenggarakan hiburan seperti wayang golek, sisingaan atau aneka
tarian.
D. Upacara Adat Perkawinan
Secara kronologis upacara adat perkawinan dapat diurut mulai dari adat
sebelum akad nikah, saat akad nikah dan sesudah akad nikah
1. Upacara sebelum akad nikah,
pada upacara ini biasanya dilaksanakan adat :
(1)
Neundeun Omong : yaitu kunjungan orang tua jejaka
kepada orang tua si gadis untuk bersilaturahmi dan menyimpan pesan bahwa
kelak anak gadisnya akan dilamar.
(2)
Ngalamar : nanyaan atau nyeureuhan yaitu kunjungan orang
tua jejaka untuk meminang/melamar si gadis, dalam kunjungan tersebut
dibahas pula mengenai rencana waktu penikahannya. Sebagai acara penutup
dalam ngalamar ini si pelamar memberikan uang sekedarnya kepada orang
tua si gadis sebagai panyangcang atau pengikat, kadang-kadang dilengkapi
pula dengan sirih pinang selengkapnya disertai kue-kue &
buah-buahan. Mulai saat itu si gadis telah terikat dan disebut orang
bertunangan.
(3)
Seserahan : yaitu menyerahkan si jejaka calon pengantin
pria kepada calon mertuanya untuk dikawinkan kepada si gadis. Pada acara
ini biasa dihadiri oleh para kerabat terdekat, di samping menyerahkan
calon pengantin pria juga barang-barang berupa uang, pakaian, perhiasan,
kosmetik dan perlengkapan wanita, dalam hal ini tergantung pula pada
kemampuan pihak calon pengantin pria. Upacara ini dilakukan 1 atau 2
hari sebelum hari perkawinan atau adapula yang melaksanakan pada hari
perkawinan sebelum akad nikah dimulai.
(4)
Ngeuyeuk Seureuh : artinya mengerjakan dan mengatur
sirih serta mengait-ngaitkannya. Upacara ini dilakukan sehari sebelum
hari perkawinan, yang menghadiri upacara ini adalah kedua calon
pengantin, orang tua calon pengantin dan para undangan yang telah
dewasa. Upacara dipimpin oleh seorang pengetua, benda perlengkapan untuk
upacara ini seperti sirih beranting, setandan buah pinang, mayang
pinang, tembakau, kasang jinem/kain, elekan, dll semuanya mengandung
makna/perlambang dalam kehidupan berumah tangga. Upacara ngeuyeuk
seureuh dimaksudkan untuk menasihati kedua calon mempelai tentang
pandangan hidup dan cara menjalankan kehidupan berumah tangga
berdasarkan etika dan agama, agar bahagia dan selamat. Upacara pokok
dalam adat perkawinan adalah ijab kabul atau akad nikah .
2. Upacara Adat Akad Nikah
Upacara perkawinan dapat dilaksanakan apabila telah memenuhi
ketentuan-ketentuan yang telah digariskan dalam agama Islam dan adat.
Ketentuan tersebut adalah: adanya keinginan dari kedua calon mempelai
tanpa paksaan, harus ada wali nikah yaitu ayah calon mempelai perempuan
atau wakilnya yang sah, ada ijab kabul, ada saksi dan ada mas kawin.
Yang memimpin pelaksanaan akad nikah adalah seorang Penghulu atau Naib,
yaitu pejabat Kantor Urusan Agama.
Upacara akad nikah biasa dilaksanakan di Mesjid atau di rumah
mempelai wanita. Adapun pelaksanaannya adalah kedua mempelai duduk
bersanding diapit oleh orang tua kedua mempelai, mereka duduk berhadapan
dengan penghulu yang di kanan kirinya didampingi oleh 2 orang saksi dan
para undangan duduk berkeliling. Yang mengawinkan harus wali dari
mempelai perempuan atau mewakilkan kepada penghulu. Kalimat menikahkan
dari penghulu disebut ijab, sedang sambutan dari mempelai pria disebut
qobul (kabul). Setelah dilakukan ijab-qobul dengan baik selanjutnya
mempelai pria membacakan talek, yang bermakna ‘janji’ dan menandatangani
surat nikah. Upacara diakhiri dengan penyerahan mas kawin dari mempelai
pria kepada mempelai wanita.
3. Upacara Adat sesudah akad nikah
a)
Munjungan/sungkeman : yaitu kedua mempelai sungkem kepada kedua orang tua mempelai untuk memohon do’a restu.
b)
Upacara Sawer (Nyawer) : perlengkapan yang diperlukan
adalah sebuah bokor yang berisi beras kuning, uang kecil (receh) /logam,
bunga, dua buah tektek (lipatan sirih yang berisi ramuan untuk
menyirih), dan permen. Pada pelaksanaannya kedua mempelai duduk di
halaman rumah di bawah cucuran atap (panyaweran), upacara dipimpin oleh
juru sawer. Juru sawer menaburkan isi bokor tadi kepada kedua pengantin
dan para undangan sebagai selingan dari syair yang dinyanyikan olehnya
sendiri. Adapun makna dari upacara nyawer tersurat dalam syair yang
ditembangkan juru sawer, intinya adalah memberikan nasehat kepada kedua
mempelai agar saling mengasihani, dan mendo’akan agar kedua mempelai
mendapatkan kesejahteraan dan kebahagiaan dalam membina rumah tangganya,
hidup rukun sampai diakhir hayatnya.
c)
Upacara Nincak Endog : atau upacara injak telur yaitu
setelah upacara nyawer kedua mempelai mendekati tangga rumah , di sana
telah tersedia perlengkapan seperti sebuah ajug/lilin, seikat harupat
(sagar enau) berisikan 7 batang, sebuah tunjangan atau barera (alat
tenun tradisional) yang diikat kain tenun poleng, sebuah elekan, sebutir
telur ayam mentah, sebuah kendi berisi air, dan batu pipisan, semua
perlengkapan ini mempunyai perlambang. Dalam pelaksanaannya lilin
dinyalakan, mempelai wanita membakar ujung harupat selanjutnya dibuang,
lalu mempelai pria menginjak telur, setelah itu kakinya ditaruh di atas
batu pipisan untuk dibasuh air kendi oleh mempelai wanita dan kendinya
langsung dihempaskan ke tanah hingga hancur. Makna dari upacara ini
adalah menggambarkan pengabdian seorang istri kepada suaminya.
d)
Upacara Buka Pintu : upacara ini dilaksanakan setelah
upacara nincak endog, mempelai wanita masuk ke dalam rumah sedangkan
mempelai pria menunggu di luar, hal ini menunjukan bahwa mempelai wanita
belum mau membukakan pintu sebelum mempelai pria kedengaran mengucapkan
sahadat. Maksud upacara ini untuk meyakinkan kebenarannya beragama
Islam. Setelah membacakan sahadat pintu dibuka dan mempelai pria
dipersilakan masuk. Tanya jawab antara keduanya dilakukan dengan
nyanyian (tembang) yang dilakukan oleh juru tembang.
e) Upacara Huap Lingkung : Kedua mempelai duduk bersanding, yang
wanita di sebelah kiri pria, di depan mempelai telah tersedia adep-adep
yaitu nasi kuning dan bakakak ayam (panggang ayam yang bagian dadanya
dibelah dua). Mula-mula bakakak ayam dipegang kedua mempelai lalu saling
tarik menarik hingga menjadi dua. Siapa yang mendapatkan bagian
terbesar dialah yang akan memperoleh rejeki besar diantara keduanya.
Setelah itu kedua mempelai huap lingkung , saling menyuapi. Upacara ini
dimaksudkan agar kedua mempelai harus saling memberi tanpa batas, dengan
tulus dan ikhlas sepenuh hati. Sehabis upacara huap lingkung kedua
mempelai dipersilakan duduk di pelaminan diapit oleh kedua orang tua
mempelai untuk menerima ucapan selamat dari para undangan (acara
resepsi).
E. Upacara Adat Kematian
Pada garis besarnya rangkaian upacara adat kematian dapat digambarkan
sebagai berikut: memandikan mayat, mengkafani mayat, menyolatkan mayat,
menguburkan mayat, menyusur tanah dan tahlilan, yaitu pembacaan do’a
dan zikir kepada Allah swt. agar arwah orang yang baru meninggal dunia
itu diampuni segala dosanya dan diterima amal ibadahnya, juga mendo’kan
agar keluarga yang ditinggalkannya tetap tabah dan beriman dalam
menghadapi cobaan.
Tahlilan dilaksanakan di rumahnya, biasanya sore/malam hari pada hari
pertama wafatnya (poena), tiluna (tiga harinya), tujuhna (tujuh
harinya), matangpuluh (empat puluh harinya), natus (seratus hari),
mendak taun (satu tahunnya), dan newu (seribu harinya).
UPACARA ADAT BERTANI
A. Upacara Adat Seren Taun
Upacara Seren Taun yaitu upacara adat yang intinya mengangkut padi
(ngakut pare) dari sawah ke leuit (lumbung padi) dengan menggunakan
pikulan khusus yang disebut rengkong dengan diiringi tabuhan musik
tradisional. Selanjutnya di adakan riungan (pertemuan) antara sesepuh
adat/pemuka masyarakat dengan pejabat pemerintah setempat. Dalam riungan
tersebut antara lain. Disampaikan kabar gembira kepada pejabat setempat
mengenai keberhasilan panen (hasil tani) dan kesejahteraan masyarakat
yang dicapai dalam kurun waktu yang telah dilalui. Salah satu ciri khas
upacara seren taun adalah melalukan seba, yaitu menyampaikan aneka macam
hasil panen kepada pejabat setempat agar ikut menikmati hasil tani
mereka.
Salah satu tujuan upacara seren taun ini adalah ungkapan rasa syukur
kepada Tuhan atas keberhasilannya bertani serta mengharapkan pada masa
mendatang akan lebih berhasil lagi. Upacara seren taun dapat dijumpai di
Kasepuhan Sirnarasa Cisolok-Sukabumi Selatan, Cigugur Kuningan dan
Baduy-Lebak/Banten.
B. Upacara Adat Kawin Tebu
Upacara tradisional Kawin Tebu dilaksanakan seperti upacara
perkawinan manusia, yang mana satu batang tebu dikawinkan dengan tebu
yang lainnya dengan suatu prosesi upacara. Upacara ini dilaksanakan
setelah panen menjelang tebu dimasukan ke pabrik untuk diproses menjadi
gula, atau awal musim tanam tebu. Menjelang diadakan perkawinan tebu
ditampilkan berbagai atraksi kesenian yang diikuti oleh masyarakat
setempat, terutama oleh para pekerja pabrik gula dan keluarganya.
Upacara ini sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil tanam yang dicapai
serta memohon kepada tuhan YME. agar hasil tanam yang akan datang lebih
baik lagi. Upacara ini terdapat di daerah Kadipaten, Kabupaten
Majalengka.
C. Upacara Adat Ampih Pare
Upacara Ampih Pare adalah upacara menyimpan hasil panen padi dari
sawah/ladang ke tempat penyimpanan padi (pare) yang disebut leuit. Pada
pelaksanaannya para petani dengan memakai pakaian adat yang khas,
memikul hasil panennya dengan menggunakan alat pikul yang disebut
“rengkong”. Selama perjalanan alat pikul tersebut menimbulkan bunyi yang
khas, upacara ampih pare merupakan suatu prosesi pertunjukan kesenian
yang khas. Terdapat di Kabupaten Sumedang, Cianjur, Karawang dan Subang.
D. Upacara Adat Ngarot
Upacara Ngarot dilaksanakan pada saat dimulainya musim tanam , yaitu
pada awal musim penghujan, saat musim tanam yang baik untuk menggarap
tanah palawija di Ladang. Pelaksanaannya dengan cara mengadakan
keramaian berupa arak-arakan menuju Bale Desa. Upacara ini sebagai
ungkapan rasa syukur dan memohon kepada sang Pencipta agar hasil
berladangnya diberkahi dan dilimpahkan hasilnya untuk kesejahteraan
masyarakat setempat. Upacara ini terdapat di daerah Indramayu.
E. Upacara Adat Sedekah Bumi
Upacara ini dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil bumi
yang diterima oleh masyarakat berhasil baik. Upacara tradisi seperti ini
terdapat di Cirebon, pelaksanaan upacara ini di Makam Sunan Gunung Jati
yang dipimpin oleh Ki Penghulu. Setelah upacara ini selesai, biasanya
di Alun-alun diselenggarakan berbagai kesenian, sebagai acara puncaknya
pergelaran Wayang Orang.
F. Upacara Adat Pesta Laut
Upacara Pesta laut biasanya diselenggarakan di daerah pesisir jawa barat
seperti Pelabuhan Ratu (Sukabumi) dan Pangandaran (Ciamis). Upacara ini
dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah swt atas hasil
laut yang diperoleh para nelayan, juga sebagai ungkapan permohonan agar
para nelayan selalu selamat dan sehat serta memperoleh hasil laut yang
melimpah.
Di dalam upacara tersebut perahu-perahu nelayan dihiasi dengan
berbagai ornamen berwarna-warni yang dinaiki oleh para nelayan dan
dilengkapi sesajen. Yang unik dalam upacara ini adalah para nelayan
menghadiahkan kepala kerbau yang sudah dibungkus kain putih kepada
penguasa laut sebagai penolak bala. Perahu yang membawa sesajen dan
kepala kerbau berada di posisi paling depan dan diikuti perahu-perahu
lainnya yang ditumpangi para nelayan dan keluarganya serta masyarakat
setempat. Perahu melaju ke tengah laut mereka bersorak- ria sambil
memainkan alat musik serta menyanyikan lagu-lagu pujian terhadap Tuhan
pencipta alam semesta, mereka menikmati upacara tersebut. Sebelum kepala
kerbau dihanyutkan di tengah laut, mereka berdo’a bersama untuk
keselamatan. Pesta laut diadakan setahun sekali.
UPACARA ADAT KEAGAMAAN
A. Upacara Ngirab/Rebo Wekasan
Upacara ini ditandai dengan berziarahnya masyarakat setempat ke makam
Sunan Kalijaga, yang dilaksanakan pada hari Rabu terakhir di bulan
Shafar, karena waktu tersebut dianggap hari yang paling baik untuk
menghilangkan bencana dan kemalangan dalam hidup manusia. Setelah
upacara selesai, dilanjutkan dengan berbagai pertandingan seperti lomba
mendayung dan sebagainya. Upacara ini biasa dilaksanakan di sungai
Drajat, Kota Cirebon.
B. Upacara Maulud Nabi Muhammad Saw
Upacara ini adalah merupakan upacara keagamaan. Maulud Nabi Muhammad SAW
adalah peringatan hari lahirnya Nabi Besar Muhammad SAW dimana sejumlah
masyarakat berkumpul berdatangan dari berbagai daerah di luar Kota
Cirebon untuk mengikuti upacara tersebut. Setelah selesai upacara
dilanjutkan dengan ziarah ke makam para wali dan kramat-kramat lainnya,
baik dari masyarakat Cirebon maupun masyarakat dari luar daerah. Di tiap
daerah pun diadakan peringatan Maulud Nabi Muhammad Saw, dengan cara
pengajian dan pembacaan solawat kepada Nabi Muhammad Saw disertai
ceramah keagamaan.
C. Upacara Adat Nyalawean
Upacara Nyalawean merupakan upacara keagamaan untuk memperingati hari
lahirnya Nabi besar Muhammad SAW yang diselenggarakan di alun-alun desa
Trusmi , Kabupaten Cirebon selama 5 hari. Upacara ini dilaksanakan 12
hari setelah peringatan yang sama di keraton Cirebon. Selain
dilaksanakannya upacara keagamaan, juga mengadakan ziarah ke makam para
leluhur orang Trusmi agar memperoleh rahmat, kesejahteraan serta
kebahagiaan.
D. Upacara Peringatan Isro Mi’raj
Di setiap daerah di Jawa Barat khususnya bagi umat Islam, setiap tanggal
27 bulan Rajab biasa dilakukan peringatan Isro Mi’raj. Isro yaitu
hijrahnya Nabi Muhammad dari masjidil Haram Mekah ke mesjidil Aqso.
Sedangkan Mi’raj adalah peristiwa naiknya Nabi Muhammad ke langit ke
tujuh dan diberikannya wahyu untuk melaksanakan sholat 5 waktu sehari.
Pada pelaksanaan peringatan Isra Miraj biasa diadakan pengajian,
pembacaan solawat dan ceramah keagamaan. Hal ini dimaksudkan agar
manusia dalam menjalankan hidupnya harudisertai dengan peningkatan
ibadah terhadap Allah SWT. Seusai kegiatan tersebut biasa diadakan makan
nasi tumpeng bersama.
E. Upacara Lebaran 1 Syawal
Setelah puasa satu bulan penuh di bulan Ramadhan, pada tanggal 1 Syawal
merupakan hari raya Idul fitri atau hari lebaran, yaitu hari dimana umat
Islam merayakan hari yang penuh kesucian dan kebebasan, bebas dari
puasa dan bebas dari dosa. Pagi hari setelah solat subuh, umat Islam
yang merayakan Lebaran solat berjamaah di lapangan atau di mesjid,
mendengarkan ceramah dan berdo’a. Setelah itu bersalaman saling
memaafkan. Begitu pula sesampainya di rumah diadakan upacara sungkeman,
orang tua duduk berdampingan, anak-anaknya sungkem bersalaman saling
memaafkan antara anggota keluarga. Setelah itu makan bersama yaitu makan
khas Lebaran “ketupat” beserta lauk-pauk dan makanan lainnya khas
lebaran. Selanjutnya mereka dengan baju barunya pergi ke tetangga dan
kerabat untuk bersilaturahmi saling memaafkan sambil membawa makanan
atau hadiah lainnya. Ada juga yang berziarah terlebih dahulu ke makam
keluarga untuk mendo’akan para arwah. Masyarakat Sunda umumnya
melaksanakan lebaran ini dengan penuh hikmah dan semangat.